Berita Pilihan
Germas (Tidak Merokok)
Minggu, 05 Sep 2021, 19:49:13 WIB - 68 | Hendri Agustian, S.Kep., M.M
Saat ini, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yakni masalah kesehatan triple burden, karena masih adanya penyakit infeksi, meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) dan penyakit-penyakit yang seharusnya sudah teratasi muncul kembali. Pada era 1990, penyakit menular seperti ISPA, Tuberkulosis dan Diare merupakan penyakit terbanyak dalam pelayanan kesehatan. Namun, perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran pola penyakit (transisi epidemiologi). Tahun 2015, PTM seperti Stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK), Kanker dan Diabetes justru menduduki peringkat tertinggi.
Tingginya insiden penyakit tidak menular disebabkan beberapa faktor salah satunya adalah peningkatan jumlah perokok pemula pada remaja. Jumlah perokok di Indonesia dilaporkan dalam data The Tobacco Atlas 3rd Edition pada tahun 2009 menyebutkan bahwa perokok Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN, dengan persentase 46,16% dari keseluruhan penduduk negara-negara ASEAN. Sedangkan peringkat kedua, Filipina hanya memiliki presentase sebesar 16,62%. (Kemenkes, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah perokok Indonesia berkali lipat banyaknya dibandingkatn negara lain di ASEAN.
Menurut pusat data dan informasi kementerian kesehatan (INFODATIN) tahun 2015, bahwa Indonesia menempati posisi pertama perokok terbanyak di ASEAN dengan persentase 46,16%. Persentase perokok lainnya tersebar di Filipina 16,62%, Vietnam 14,11%, Myanmar 8,73%, Thailand 7,74%, Malaysia 2,90%, Kamboja 2,07%, Laos 1,23, Singapura 0,39%, dan Brunai 0,04%
Data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, menyebutkan adanya peningkatan prevalensi perokok muda dari tahun ke tahun, sebesar 20,30% pada tahun 2010 menjadi 23,10% pada tahun 2012 (Rikesdas, 2017). Selanjutnya data Riskesdas 2018 yang dilakukan oleh Kemenkes RI menunjukkan prevalensi merokok pada anak yang berusia 10 hingga 18 tahun mencapai 9,1%. Jika populasi pada kelompok usia itu sekitar 40,6 juta jiwa, maka sudah ada sekitar 3,9 juta anak yang merokok (Kemenkes, 2018). Peningkatan tersebut juga disampaikan melalui salah satu akun sosial media Kemenkes RI, yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah perokok usia muda dari 7,2% pada tahun 2013, meningkat menjadi 9,1% pada tahun 2018 (Sulastri, 2018). Seiring dengan peningkatan jumlah perokok remaja di Indonesia hal ini juga mengakibatkan terjadi peningkatan angka penyakit tidak menular atau non communicable disease.
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2018, Tembakau membunuh lebih dari 7 juta orang setiap tahun. Lebih dari 6 juta kematian tersebut adalah akibat dari penggunaan tembakau langsung. Sementara, sekitar 890.000 adalah akibat terpapar oleh asap rokok (perokok pasif). Sekitar 80% dari 1,1 miliar perokok didunia, tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, prevalensi merokok pada penduduk umur 10-18 tahun adalah 9,1% angka ini cenderung meningkat dari tahun 2013. Selain itu, proporsi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas adalah pria 62,9% dan wanita 4,8%.
Penyakit tidak menular seperti jantung dan stroke, setiap tahunnya membunuh 17,7 juta orang di dunia. Sekitar 31% dari jumlah korban global. Di Indonesia stroke (21,1%) dan penyakit jantung (12,9%) menjadi pembunuh nomor satu terbesar dan dua dari seluruh kematian di Indonesia. Penyakit tersebut adalah dampak dari perilaku merokok. Rokok yang menjadi salah satu fokus pada penelitian ini merupakan lintingan atau gulungan tembakau yang digulung/dibungkus dengan kertas, daun, atau kulit jagung, sebesar kelingking dengan panjang 8-10 cm, biasanya dihisap seseorang setelah dibakar ujungnya. Hanya dengan membakar dan menghisap sebatang rokok saja, dapat diproduksi lebih dari 4000 jenis bahan kimia. 400 diantaranya beracun dan 40 diantaranya bisa berakumulasi dalam tubuh dan dapat menyebabkan kanker. Rokok tidak hanya membahayakan kesehatan bagi individu yang aktif menghisapnya namun juga membahayakan orang-orang di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan WHO yang menjelaskan bahwa tembakau adalah produk yang setiap tahunnya mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar USD 1.4 trilyun, dihitung dari biaya perawatan dan hilangnya produktivitas.
Kementerian Kesehatan mengeluarkan delapan strategi dalam mengupayakan pengurangan konsumsi rokok pada remaja Indonesia (Kemenkes, 2016). Delapan strategi tersebut antara lain: (1) Melakukan KIE melalui media masa (leaflet, poster, seminar, talkshow, workshop, filler TV, dll). (2) Secara teratur melaksanakan kampanye Hari Tanpa Tembakau Sedunia. (3) Melaksanakan jejaring kerja dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat, universitas dan masyarakat madani dalam pengendalian tembakau. (4) Mengembangkan kawasan tanpa rokok di berbagai daerah, untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok. (5) Melaksanakan berbagai capacity building tingkat nasional dan lokal mengenai pengendalian tembakau, round table diskusi yang menghasilkan deklarasi perlindungan anak dari bahaya rokok, seminar, dll. (6) Menyusun dan memproses Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, sesuai dengan pasal 113 dan 116 Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (7) Mengembangkan strategi nasional pengendalian tembakau yang komprehensif. (8) Membuat baseline data prevalensi rokok serta melakukan pemantauan prevalensi dan kecenderungan konsumsi tembakau di masyarakat dengan berbagai survei, seperti RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar), Susenas, survey lain seperti Global Youth Tobacco Survey, Global Adult Tobacco Survey, dll dan membuat sistem informasi untuk memonitor masalah kesehatan akibat tembakau/rokok ini.
Bukan hanya sektor kesehatan saja yang telah menyiapkan strategi dalam mengurangi jumlah perokok di Indonesia, tetapi sektor keagamaan juga turut menyatakan sikap dengan mengesahkan fatwa yang memutuskan untuk mengharamkan rokok jika dilakukan di tempat umum, oleh anak-anak dan wanita hamil dengan pertimbangan aspek kesehatan serta berlandaskan kepada al-qur’an dan as sunnah (MUI, 2015). Meski sektor kesehatan dan keagamaan sudah matang dengan strategi intervensinya, namun pola asuh orang tua kepada anaknya tentu memiliki peran paling besar dalam mengawasi anak dan mencegah anak untuk memiliki perilaku merokok terlepas dari latar belakang etnis dan ras. Berdasarkan hasil studi terbaru di Amerika Serikat menyatakan bahwa orangtua yang menerapkan pola asuh “otoriter” dan terstruktur, cenderung memiliki anak yang tidak merokok saat remaja. Hal ini diyakini oleh Heather Patrick dari Health Behaviors Research Branch of the National Cancer Institute, yang menyatakan bahwa struktur dan otoritas yang diterapkan dalam pengasuhan merupakan cara penting mencegah anak merokok.
Merokok merupakan kebiasaan yang banyak memberi dampak buruk bagi kesehatan. Berhenti merokok menjadi bagian penting dari gerakan hidup sehat dan akan berdampak tidak pada diri perokok; tetapi juga bagi orang – orang di sekitarnya. Meminta bantuan ahli melalui hipnosis atau metode bantuan berhenti merokok yang lain dapat menjadi alternatif untuk menghentikan kebiasaan buruk tersebut.
STATISTIK PENGUJUNG
3 Pengunjung Hari ini | 3 Pengunjung Kemarin | 62,771 Semua Pengunjung | 142,763 Total Kunjungan | 3.15.190.144, IP Address Anda